Wisata Air Terjun ‘Tujuh Tingkat’ Gurong Maloh



Wisata Air Terjun ‘Tujuh Tingkat’ Gurong Maloh - Salam sahabat gamebhot, terima kasih atas kesediaannya mengunjungi situs ini, semoga dengan adanya situs webBlog ini, bisa mendapat informasi tentang Wisata Air Terjun ‘Tujuh Tingkat’ Gurong Maloh.. Semogga artikel ini bermanfaat dan jangan sungkan memberi keritik , kami akan selalu menerima kritikan demi majunya artikel ini. dan jangan lupa shere ya artikel ini, karena satu shere dari kalian sangan bernilai bagi kami,OK Terima kasih semogga sehat selalu para pengunjung.
Wisata Air Terjun ‘Tujuh Tingkat’ Gurong Maloh
Wisata air terjun ‘tujuh tingkat’ Gurong Maloh terletak di Dusun Malan 1, Desa Kedukul, Kecamatan Mukok, Kabupaten Sanggau. Dulunya bernama Gurong Macan dan kemudian berganti nama. Tempat itu dulunya ditempati oleh binatang yang disebut Macan (bukan harimau) dan sepasang Gegasi (seperti manusia raksasa). Ceritanya sendiri sempat terbukukan, sebelum akhirnya buku itu musnah akibat terjadinya kebakaran.

Raganayam dan Runti, dua manusia raksasa pasangan suami istri ini dipercaya tinggal lokasi tersebut. Pondoknya berada diantara tingkat keenam dan ketujuh air terjun tersebut. Sempat ditemukan jejak kaki berukuran sangat besar yang diduga milik mereka dibebatuan sepanjang aliran air. Konon, mereka punya keturunan yang diberi nama Putri Gemiluh.

Akses tangga naik gurong maluh
Penuturan para tetua di kampung Malan 1, air terjun itu memang awalnya bernama Gurong Macan. Itu karena adanya sosok binatang Macan (bukan harimau) yang jika dilihat dari depan hanya selebar daun ilalang. Namun, saat dilihat dari samping, ukurannya sebesar sapi. Perubahan nama tempat itu sendiri berkaitan dengan kisah pasangan gegasi yang meninggali tempat itu.

Cerita mengenai dua Gegasi ini sebelumnya tertulis dalam buku cerita rakyat yang ditulis oleh nenek moyang tetua kampung setempat beberapa ratus tahun lalu. Tulisannya masih menggunakan huruf arab. Dulunya, buku ini menjadi cerita dan dongeng orang tua kepada anaknya. Dan terus diceritakan turun temurun. Sayang, api telah memusnahkan peninggalan cerita satu-satunya ini.

Penasaran dengan ceritanya, pagi-pagi sekali, itu hari Minggu, saya berangkat menuju Dusun Malan 1 sekira setengah jam dari Kota Sanggau. Kepala Dusun setempat, Apit Susanto akan memandu perjalanan saya menuju lokasi air terjun. Perjuangan menuju kesana sangat sulit karena medannya cukup berat. Bahkan saya ‘nyaris’ dibuat menyerah. Setelah hampir satu tengah jam perjalanan, saya sampai disana.

Tempatnya membuat takjub. Meski lelah, saya dan beberapa orang warga setempat yang menemani perjalanan kali ini terus menaiki bukit sampai ke tingkat paling atas atau ke tingkat tujuh.

Selama kurang lebih enam jam dilokasi, kami akhirnya kembali ke Dusun Malan 1. Disana saya sudah ditunggu oleh dua orang tetua kampung. Mereka adalah Pak Dandan, usianya kini 77 tahun dan Pak Pance, usianya sekira 60 tahun.

Pak Dandan adalah salah satu tetua yang pernah melihat langsung buku cerita karangan nenek moyangnya itu. Kisah Raganayam dan Runti memang secara turun temurun (pada masa kecilnya) menjadi bagian dari cerita orang tuanya. Dia sendiri masih sangat lekat dengan ceritanya. Meski tak mampu lagi mengingat cerita lengkapnya, namun secara garis besar dia masih sanggup menceritakannya dengan bahasa melayu penduduk setempat.

“Kisah ini sejak zaman kami kecil memang sudah ada. Orang tua kami biasa cerita atau mendongengkannya. Saya biasa diceritakan. Dulu ada bukunya. Buku ini karya nenek moyang kami zaman dulu. Cuma sudah terbakar, jadi tidak bisa dilihatkan lagi kepada yang muda-muda,” ujarnya.

Menurut dia, Raganayam berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan Runti adalah perempuan. Mereka merupakan suami istri. Bermukimlah mereka disebuah pondok sederhana. Seingatnya, seperti dikisahkan, mereka tinggal diantara tingkat keenam dan ketujuh air terjun itu. Selama tinggal disitu, mereka hidup dengan damai. Sampai suatu ketika keduanya terlibat perseteruan atau cek cok soal rumah tangga. Lalu, si suami, Raganayam ini pergi meninggalkan Runti seorang diri.

Sembari menyusuri aliran air terjun itu, entah berapa jauh, dia sampai disebuah daerah yang dinamakan Embaloh yang sekarang ada didaerah Kabupaten Kapuas Hulu. Tidak banyak cerita apa yang dilakukannya didaerah tersebut. Hitungan hari, bulan dan tahun terus berlalu. Raganayam tak juga kunjung kembali ke pondoknya. Runti merasa sedih ditinggal suaminya itu dan menyesali perseteruan mereka

Bertahun-tahun Runti menunggu. Raganayam tak juga kembali. Ia semakin gelisah karena tak ada kabar berita tentang sang suami. Ingin mencari, tapi tak tahu hendak kemana. Setelah berulang-ulang kali berpikir, akhirnya ia melakukan cara yang tak biasa yakni memelet atau mengguna-guna si suami melalui media air terjun itu.

Runti yang penuh dengan harap suaminya kembali kemudian mengalirkan peletnya melalui air yang dipercaya mengalir sampai ke daerah bagian hulu yakni Nanga Embaloh tadi. Dalam beberapa waktu, usahanya membuahkan hasil. Suara gemuruh air terjun itu pun akhirnya terdengar sampai ke telinga suaminya.

Mendengar gemuruh air terjun itu, Raganayam tahu betul bahwa itu merupakan gemuruh air terjun dimana tempatnya dulu meninggalkan Runti seorang diri. Gemuruh air itu terus terus terdengar ke telinganya sampai akhirnya merasa terusik dengan suara itu. Nah, suara gemuruh itu yang dipercaya warga setempat sebagai panggilan pulang Runti kepada suami tercintanya.

Tak tahan dengan suara gemuruh itu, Raganayam kemudian memutuskan untuk pulang menemui istrinya yang sudah berpuluh tahun ditinggalkannya. Dengan menyusuri aliran sungai, dia berjalan menelusuri jalur seperti saat dia dulu pergi. Beberapa hari menempuh perjalanan, akhirnya sampailah Raganayam ini ke tempat tinggalnya. Dia kemudian bertemu lagi dengan istrinya yang sudah menantinya sejak lama.

Sepulangnya Raganayam, mereka kembali hidup seperti dulu. Namun, sang suami masih risih dengan bunyi gemuruh air tersebut yang seolah-olah masih memanggilnya. Dibagian air terjun itu, dulunya ada batu yang menyerupai lidah. Dipercaya air yang jatuh dan mengalir itulah yang membuat suara gemuruh. Raganayam kemudian memutuskan untuk memotong batu yang menyerupai lidah tersebut dengan buluh temiang (bambu) yang ada disekitar air terjun.

Lokasi air terjun itu memang banyak ditumbuhi tanaman bambu liar. Sampai sekarang, lokasi tersebut juga masih banyak ditumbuhi oleh tanaman bambu. “Bambu ini memang jadi ciri khas didaerah situ.” Setelah batu lidah itu terpotong, suara gemuruh yang disebut sebagai panggilan Runti tidak terdengar lagi.

Kembali hidup bersama membawa berkah bagi mereka. Runti hamil dari hasil cinta mereka dan melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Putri Gemiluh. Cerita mengenai Putri Gumiluh ini tidak banyak diketahui oleh para tetua warga disana. Karena sejak Raganayam dan Runti memiliki anak, cerita kehidupan mereka nyaris tidak pernah terdengar lagi.

“Lama kelamaan tidak lagi terdengar cerita mereka sejak si bayi lahir. Tidak banyak yang berhasil menemukan jejak mereka. Seperti hilang ditelan waktu. Apakah mereka masih hidup disitu tetapi tak kasat mata atau sudah berpindah tempat tinggal, kami juga tidak tahu,” ungkap orang tua yang lahir tahun 1937 ini.

Soal Gegasi, seperti yang diceritakan Pak Dandan sebelumnya, Pak Pance menambahkan dulunya dibebatuan air terjun itu (disekitar tingkat 5 atau 6) terdapat bekas jejak kaki berukuran sangat besar. “Bisa mencapai dua atau tiga kali lipat ukuran kaki manusia dewasa zaman sekarang. Bekas jejak kaki itu ditengarai sebagai Raganayam atau Runti. Karena jejak itu sangat mirip dengan jejak kaki manusia yang berukuran raksasa,” katanya.

Bekas jejak kaki ini turut diamini sang kepala dusun yang pernah melihat langsung. Namun, terakhir kali ke tempat itu (sebelum mengantarkan saya) sudah tidak terlihat lagi bekas jejak kaki itu. Mungkin tertutup bebatuan bukit yang longsor dan menimpa sebagian tempat itu. “Mungkin karena tertutup batuan yang longsor itu.”

Dari tempat itu, meski tak dapat lagi mendengar cerita Raganayam dan Runti serta anaknya Putri Gemiluh, namun masih ada sosok binatang yang disebut Macan. Binatang ini, lebih mirip dengan anjing. Kelebihannya bisa memanjat pohon-pohon besar. Dari kedua matanya memancarkan cahaya merah.

Binatang ini, menurut ceritanya memakan tengkuyung di bebatuan air terjun. Hanya Nampak pada malam hari. Kepala dusun menceritakan, beberapa tahun lalu ada warganya yang melihat pada malam hari. Tubuhnya tidak lagi besar seperti ceritanya. Saat disenter, nampak binatang itu dari balik hutan sekitar batu-batu yang berada di air terjun. Matanya mengeluarkan cahaya merah.

Binatang ini, kata orang dikampung ‘ngamik semangat.’ Mereka yang berjumpa dengannya akan merasa tak berdaya. Tapi, lagi-lagi warga disana tak tahu jenis binatang apa itu. Jika benar itu binatang seperti yang diceritakan dalam legenda, ukuran tubuhnya sudah tidak sebesar dalam penuturan ceritanya. Sampai saat ini, belum ada lagi yang menjumpainya di hutan tersebut. (*)

Sumber : jejaksigondrong
Terima kasih anda sudah membaca articel Wisata Air Terjun ‘Tujuh Tingkat’ Gurong Maloh
Jika anda menemukan Link mati atau Link tidak berfungsi, silahkan hubungi kami melalui kontak person di atas, agar segera di perbaiki dan bisa berfungsi kembali. Terima kasih ...

Belum ada Komentar untuk "Wisata Air Terjun ‘Tujuh Tingkat’ Gurong Maloh"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel